Seperti yang telah dikemukakan terdahulu bahwa
filsafat berfikir radikal,sistematis, dan universal tentang sesuatu. Jadi, yang
menjadi obyek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang
ada merupakan bahan pemikiran filsafat karena, filsafat merupak usaha berfikir
manusia secara sistematis. Disini kita perlu mensistematiskan segala sesuatu
yang ada.
Al-Syaibany mendefenisikan filsafat sebagai usaha mencari yang hak dan mengenai
kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang berwujud, atau usaha untuk
mengetahui tentang nilai segala sesuatu yang mengelilingi manusia dalam alam
semesta. Filsafat membahas yaitu masalah wujud, pengetahuan, dan masalah nilai.
Tiga masalah utama dalam filsafat yaitu, ontology, efistemology, dan eksiologi.
A. Ontology
Ø Pengertian
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti
Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan
antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filosof yang pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan
asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa
mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga
sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos.
Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi
adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab
akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan
yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu
atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca
indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata
lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang
berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini
didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa“ontology
is the theory of being qua being ”,
artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah
ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat
ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal
dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh
Jujun Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau
dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
Ø Beberapa Konsep Mengenai Ontologi
Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat,
antara lain:
·
Filsafat
Materialisme
·
Filsafat
Idealisme
·
Filsafat
Dualisme
·
Filsafat
Skeptisisme
·
Filsafat
Agnostisisme
Pokok
permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yaitu :
·
Logika
(Benar- Salah)
·
Etika
(Baik-Buruk)
·
Estetika
(Indah-Jelek).
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM)
dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti
ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep
universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda
mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada
di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang,
baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau
konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun
di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato
adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea
manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat
universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea- idea itu berada
dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau
yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. karena itu, ia
bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda yang
dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang
benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu
adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya
masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah
yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang
benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak
inilah oleh Augustine disebut Tuhan. Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi,
sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu?
apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat
(ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan,
yaitu:
1. Keberadaan dipandang dari segi
jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa akiran, yaitu :
Ø Monisme, aliran yang menyatakan
bahwa hanya satu keadaan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa,
materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.
Ø Dualisme (serba dua), aliran yang
menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia
indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide).
Ø Pluralisme (serba banyak), aliran
yang tidak mengakui adanya sesuatu substansi atau dua substansi melainkan
banyak substansi, misalnya hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu
udara, api, air dan tanah
2. Keberadaan dipandang dari segi
sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
Ø Spiritualisme, mengandung arti
ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yang
mengisi dan mendasari seluruh alam.
Ø Materialisme, adalah pandangan yang
menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3. Keberadaan dipandang dari segi
proses, kejadian, atau perubahan
Ø Mekanisme (serba mesin), menyatakan
bahwa semua gejala atau peristiwa dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik
(mesin).
Ø Teleologi (serba tujuan),
berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab
akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Ø Vitalisme, memandang bahwa kehidupan
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika, kimia, karena hakikatnya
berbeda dengan yang tak hidup.
Ø Organisisme (lawannya mekanisme dan
vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik,
suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang
utama adalah adanya sistem yang teratur.
B. Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, dengan asal kata
“episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori’. Secara
etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi atau teori
pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang
linkup pengetahuan, tentang asal, struktur, metode serta keabsahan pengetahuan.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat
mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof
pertama di alam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat
ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan
perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu,
serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,
Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi
guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak
sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya:
»
Epistemologi
adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang
terjadinnya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
metode atau
cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan
(Ilmiah).
»
Epistomologi
adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang
pengetahuan
yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau
kebenaran
pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-
sumber
pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan- kepentingan
yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti :
·
Dari manakah
saya berasal?
·
Bagaimana
terjadinya proses penciptaan alam?
·
Apa hakikat
manusia?
·
Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia?
·
Mana
pemerintahan yang benar dan adil?
·
Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih?
·
Apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya?
Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin
tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada
dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu
yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
»
Hakikat itu
ada dan nyata;
»
kita bisa
mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
»
hakikat itu
bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
»
manusia bisa
memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran
manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju
ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Dibawah ini
ada beberapa metode agar dapat memperoleh pengetahuan :
1.
Metode
Empiris
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme
Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan
jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah
dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan
kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2. Metode Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita,
dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi saja.
3. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu
kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti
keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut
empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada
pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.
Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari dalam dirinya
sendiri pada saat iya menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba
dalam kesadaran manusia. Mengenai proses terjadinya, manusia itu sendiri tidak
menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri hasil penghayatan pribadi sebagai hasil
ekpresi keunikan dan individualitas seseorang.
Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh
pengetahuan tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan pengamatan indra. Dalam
filsafat paham ini bertujuan agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang
hakiki. Menurut kaum intuisionisme, dengan intuisi kita akan mengetahui dan
menyadari diri kita sendiri, mengetahui karakter perasaan orang lain dan motif
orang lain.
5. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
lewat ini bisa diperoleh dengan cara seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali.
intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma'rifah yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penyiaran Al-Ghazali menerangkan bahwa
pengetahuan intuisi atau malimpah yang disinarkan oleh Allah secara langsung
merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari
keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.
6. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam metode peraturan, juga
analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang terkandung dalam
pandangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari diaektika berarti kecakapan untuk melakukan
perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak
terasa dan satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan. Berdebat
paling kurang dua pendapat. Hegel menggunakan metode dialektis untuk
menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu. Menurut Hegel dalam realitas ini
berlangsung dialektika.
Ada juga beberapa teori yang dapat dijadikan acuan apakah pengetahuan itu benar
atau salah, yaitu :
1. Teori Korespodensi
Menurut teori ini kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan situasi
nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dan pemikiran sengan
situasi lingkungannya.
2. Teori koherensi
Menurut teori ini kebenaran bukan persesuaian antara pemikiran dan kenyataan
melainkan persesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan
pengetahuan yang telah kita miliki.
Jenis–jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga (3), yaitu :
·
Filsafat
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak
salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu
sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak
dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis
hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis
Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu
ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya
sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga
mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi
besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab
al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda
dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat,
sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas
segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti
sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai
penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori).
Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas.
Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi,
segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga
realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos),
dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh
sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
·
Agama
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal
hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti
filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama
juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu
adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang
bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau
metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada
Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama,
yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan
kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional
atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang
disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau
bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang
keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia
cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat
skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama,
biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama
agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup
budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan
manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan
yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari
kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan,
dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut
beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).
·
Sains
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau
pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge)
secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method).
Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman
empiris manusia. Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal.
Objek material terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek
material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya.
Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat.
Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika
masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu
ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social
sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis
besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi,
geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll).
Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali.
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa
diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan
rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta
mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena
penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga
bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas.
Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua
tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas
Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa
lagi dipertahankan.secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai
berikut:
- Menemukan dan merumuskan masalah
- Menyusun kerangka teoritis
- Membuat hipotesis
- Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
- Menarik kesimpulan.
Kesimpulan
yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa
bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian
percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi
(pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya,
yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah).
Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja
dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak
perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua
burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang
tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk
pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam
memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description
(menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling
(mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis,
teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal
yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
C. Aksiologi
Ø Pengertian
Secara etimologis, istilah eksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri
dari kata “aksios” yang berarti nilai dan “logos” yang berarti teori. Jadi,
aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari nilai. Aksiologi
mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal ini aksiologi berkaitan dengan
kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan bidang
kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai subsransif
dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan
perilaku sosial. Drmikian pula etika merupakan penentuan perilaku yang baik,
masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya:
·
untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
·
Dimana batas
wewenang penjelajahan keilmuan?
·
Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan?
·
Apakah ilmu
itu bermanfaat bagi manusia itu sendiri?
Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti
Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup
dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup
dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat di elakkan. Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuan berpaling
kepada hakikat moral.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan
kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk
sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan
malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas
persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam
keselamatan umat manusia.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang
dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral
(yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik
ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain,
terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan
(nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di
antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo
(1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,”
kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.”
Ø Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan
mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
»
Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif . Ditinjau dari sudut pandangan ini,
nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku
dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini
dapat dinamakan “subjektivitas”.
»
Nilai
merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat
dalam ruang
dan waktu . Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
»
Nilai
merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian ini disebut
“obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna,
diantaranya:
»
Mengandung
nilai (artinya berguna)
»
Merupakan
nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
»
Mempunyai
nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau
»
mempunyai
sifat nilai tertentu)
»
Memberi
nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau
sebagai hal
yang menggambarkan nilai tertentu).
Ø Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama
dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan
dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan
manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan
manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan berasumsi bahwa
alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan hasil
kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan
mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi
sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas
tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu
memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar
dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan
teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan kemudahan
dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan
komunikasi.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?13 Oleh
karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu
sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek
negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk
mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi
penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik,
buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani,
bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.
Simpulan
Dari
pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin
yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin
dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala
sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan diidentifikasi
menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan yang tidak
bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh manusia
disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa diukur
secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengan kata
lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah
sebaliknya. Realitas materi mempunyai banyak ciri-ciri yaitu;
Ø terbatas ruang dan waktu;
Ø dapat dibagi;
Ø tersusun oleh sesuatu yang lain;
Ø memiliki ukuran kuantitatif (dapat
diukur secara kuantitatif).
Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain
sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh
dari realitas nonmateri adalah akal, jiwa, pikiran
dll.
Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan
pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu
apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak.
Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat
dipelajari oleh orang lain. Secara garis besar, dalam epistemologi cara
mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah.
Pengetahuan secara ilmiah bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara
tidak ilmiah.
Pembagian ini hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh
pengetahuan tersebut. Pengetahuan secara ilmiah didapat melalui dua hal yaitu
secara rasional dan secara empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan
dengan cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Adapun
pengetahuan secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai
dengan kenyataan empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut
karena semua manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi. Potensi
akal manusia mutlak sama, sedangkan potensi inderawi manusia tidak mutlak sama
tetapi mempunyai kemiripan yang erat. Pengetahuan yang didapatkan secara tidak
ilmiah bisa terjadi dengan berbagai cara seperti melalui wahyu, intuisi,
perasaan dan informasi dari orang yang dipercaya.
Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari oleh semua
orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang- orang yang tidak
mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya. Aksiologi membahas
tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya.
Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti
ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia.
Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika pengetahuan yang
didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka
bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula manusia
akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai
sama, yaitu relatif. Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang
berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5
meter akan relatif panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif
pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka
pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri.
Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah.
Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut
benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan
pengetahuan
lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.
Harrah's Resort Southern California - HRS
BalasHapusHarrah's Resort Southern California. Resort Information, Contact Number, Address. 2021 Harrah's Resort Southern Hours: 8:00 AM 안산 출장안마 to 3:00 하남 출장마사지 PMAddress: 전라남도 출장마사지 777 Harrah's Rincon Way, Valley Center, 92082Phone: 광주광역 출장샵 888-226-8000 순천 출장안마